Jejak Kata dan Perasaan: Perjalanan Menulis Surat Cinta, Cerpen, dan Puisi

(ilustrasi Menyurat)

Pagi ini saya memulai aktivitas dengan bangun pukul 05.00, ketika udara masih segar dan suasana sekitar masih tenang. Setelah menunaikan ibadah Subuh, saya meluangkan waktu sejenak untuk menenangkan pikiran sambil menata rencana kegiatan hari ini. Rutinitas pagi saya lanjutkan dengan mandi untuk menyegarkan tubuh, kemudian sarapan sederhana berupa nasi, telur dadar, dan teh hangat. Bagi saya, kegiatan ini bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan langkah awal untuk membangun energi dan semangat sebelum berangkat ke tempat Praktik Kerja Lapangan (PKL).

(foto saya piket)


Sekitar pukul 07.00, saya berangkat menggunakan motor menuju lokasi PKL. Perjalanan di pagi hari selalu menjadi momen transisi yang menyenangkan antara suasana rumah yang tenang dengan dunia kerja yang penuh dinamika. Kami tiba di lokasi sekitar pukul 07.45 dan langsung disambut suasana hangat di laboratorium komputer. Sebelum memulai pekerjaan, kami melaksanakan kegiatan rutin piket pagi. Kegiatan ini kami jalani dengan penuh tanggung jawab, karena selain menjaga kebersihan lingkungan, hal ini juga melatih kami untuk bekerja dalam tim serta menumbuhkan disiplin dan rasa memiliki terhadap tempat kerja.

Pukul 08.30 kami menerima arahan dari pembimbing untuk melanjutkan pekerjaan yang telah dijadwalkan, yaitu Memgikuti perlombaan membuat surat cinta, puisi dan cerpen. Tugas ini menuntut ketelitian, karena setiap elemen seperti struktur tulisan, tautan, dan tampilan harus diperhatikan dengan saksama agar hasilnya maksimal. Aktivitas ini berlangsung hingga menjelang siang dan mengajarkan kami pentingnya kesabaran serta fokus dalam pekerjaan digital yang memerlukan detail tinggi.

Pukul 12.00 kami beristirahat sejenak untuk makan siang dan mengembalikan energi. Setelah istirahat selama satu jam, kami kembali ke laboratorium pada pukul 13.00 untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Dengan semangat baru, kami memperbaiki bagian-bagian yang masih kurang dan menata ulang halaman agar tampil lebih rapi dan informatif.

Menjelang pukul 16.00, kami menutup kegiatan dengan membersihkan area kerja serta melakukan evaluasi ringan terhadap hasil pekerjaan hari ini. Secara keseluruhan, hari ini memberikan pelajaran berharga tentang konsistensi, tanggung jawab, dan kerja sama tim. Pengalaman di hari ke-37 ini semakin memperkaya wawasan saya tentang dunia kerja, khususnya dalam bidang teknologi informasi dan manajemen konten digital.

Berikut materi mengenai Surat cinta, Puisi dan Cerpen:

Surat Cinta

Surat cinta adalah ruang paling jujur bagi perasaan. Ia lahir dari kebutuhan untuk mengatakan sesuatu yang tak sanggup ditahan lama-lama di dada. Dalam sebuah surat cinta yang baik, biasanya ada sapaan yang hangat, pengakuan yang jelas, satu dua kenangan yang diangkat sebagai jangkar emosi, dan penutup yang menyisakan getar. Nada surat bisa lembut, riang, atau getir yang penting konsisten dengan kepribadian penulisnya. Pilihan kata sebaiknya konkret dan berakar pada pengalaman bukan “aku merindukanmu,” melainkan “aku menunggu bunyi langkahmu di teras pukul tujuh.” Detail seperti itu membuat perasaan terasa nyata. Surat cinta juga butuh ritme: kalimat panjang untuk mengalun, kalimat pendek untuk menancap. Hindari berlebihan memuji sampai terasa tak wajar; keindahan justru muncul dari keseimbangan antara kerentanan dan ketenangan. Etikanya sederhana, tulis untuk memberi tahu, bukan memaksa dibalas jaga privasi dan terimalah bahwa setelah dikirim, perasaanmu telah kau percayakan pada kebebasan orang lain. Jika perlu, biarkan jeda tulis, simpan semalam, lalu baca ulang dengan kepala dingin sebelum mengirim.

Berikut hasil punya saya :
(hasil surat yang saya buat)

Kepada Dania, pada Jam-jam Sunyi yang Menyala

Ditujukan kepada: Dania

Mengapa Aku Mencintainya:
Karena kau memilih lembut ketika dunia mengajak keras. Karena tawamu bukan sekadar suara, melainkan lampu jalan untuk hati yang sering tersesat. Karena kau mengingat bagaimana aku suka gulanya setengah, bagaimana aku berhenti bicara saat hujan turun, dan bagaimana aku butuh jeda untuk percaya lagi. Karena kau menanam kata-kata kecil yang tumbuh menjadi keberanian besar.

Kadang aku menulis bukan karena rindu, tapi karena takut lupa bagaimana rasanya mencintaimu. Malam ini, jam menetes pelan seperti embun di ujung daun, dan layar HP menyala dengan nama yang kuhafal lebih dari namaku sendiri. Di luar, hujan memukul kaca jendela seperti mengetuk pintu-pintu lama kenangan. Di dalam, aku duduk setengah pujangga, setengah anak muda yang masih sering typo lalu buru-buru mengirim, hehe.

Jika cinta adalah bahasa, maka aku ingin kalimatku jadi rumah untuk hatimu. Boleh sederhana, asal hangat, boleh pendek, asal jujur. Kau tahu, Dania, ada hari-hari ketika dunia terasa seperti notifikasi yang tak kunjung hening: tugas, target, kabar buruk yang muncul di sela kabar baik. Namun di antara itu semua, kau adalah pesan yang tidak pernah kubisukan. Kau adalah “seen” yang tidak menakutkan, sebab setiap balasanmu seperti doa kecil: pelan, namun membawa pulang.

Aku ingat pertama kali hujan memerangkap kita di halte kecil dekat kampus. Orang-orang sibuk mengutuk cuaca, sementara kau menatap langit seperti mengetik puisi panjang yang tak perlu dikirim ke mana-mana. “Hujan itu cara langit memeluk bumi,” katamu. Saat itu, aku tak tahu bagaimana caranya memeluk dunia, tapi aku percaya pada cara memelukmu; bukan dengan genggaman erat, melainkan dengan memberi ruang yang cukup agar kau tetap tumbuh.

Zaman boleh berubah, Dania; kita belajar bertahan di antara feed yang terlalu cepat. Namun ada hal yang tak ingin kuupgrade; caraku menyebut namamu dalam doa. Kadang, di sepertiga malam yang sunyi, aku menyelipkan namamu seperti alamat yang kupastikan tak keliru; semoga langkahmu ringan, semoga bahumu kuat, semoga hatimu aman dari yang pura-pura. Di sisiku, di jarak berapa pun, kau tetap pulang dalam sujud yang paling pelan.

Kau mengajariku bahwa cinta bukan buih kata, melainkan cara kita menata hari: menjemur kecemasan di bawah matahari, menyetrika kusut salah paham, melipat rapi amarah agar tak memenuhi lemari dada. Kita tidak selalu sependapat (btw, itu wajar kan? ). Ada sore ketika aku terlalu cepat menilai, dan malam ketika kau terlalu lelah menjelaskan. Tapi kita memilih duduk, bukannya pergi; memilih bertanya, bukannya menuduh; memilih memeluk, bukannya menang. Di situ aku paham, yang tumbuh bukan hanya sayang, tapi juga cara menyayang.

Kau menyukai senja, aku lebih percaya pada subuh. Kau senja; pandai berpisah pelan, membiarkan yang lelah pulang. Aku subuh; percaya pada mulai lagi, pada kesempatan mengulang yang baik. Kita bertemu di jam-jam biru di antaranya, saat lampu-lampu kota malu-malu padam dan burung-burung belum sepenuhnya yakin. Di jam itulah kita membagi mimpi seperti roti hangat; setengah untukmu, setengah untukku, agar tak ada yang kelaparan harapan.

Kau pernah bertanya, “Apa yang paling kau takutkan?” Kupikir jawabannya ribut dan rumit, namun ternyata sederhana; aku takut suatu hari kita lupa menatap. Lupa menyimak jeda di antara kalimat, lupa menyapa luka yang bersembunyi di balik tawa. Maka izinkan aku menjadi pengingat yang lembut, saat dunia memintamu kencang, aku akan mengajakmu melambat saat dunia menyuruhmu hebat, aku akan mengizinkanmu rapuh. Di bahuku, air mata bukan bencana; ia adalah bukti bahwa hati punya hujan sendiri.

Dania, aku jatuh hati pada hal-hal kecil yang kau lakukan tanpa sadar. Cara kau menyiapkan dua gelas air; satu dingin untuk sekarang, satu biasa untuk nanti. Cara kau menyebut nama orang-orang yang menyakitimu dengan nada yang tidak dendam. Cara kau menertawakan kesalahanmu sendiri sebelum orang lain sempat. Dan juga cara kau menerima masa laluku; bukan sebagai museum yang mesti sering kukunjungi, tapi sebagai peta lama yang boleh kusimpan untuk mengerti dari mana aku datang.

“Cinta itu menjaga,” katanya Hamka. Aku menambahkan: cinta itu juga menjaga jarak yang sehat antara “kita” dan “aku”, agar keduanya tak saling menenggelamkan. Aku ingin kau tetap punya langit untuk diterbangkan mimpimu, dan aku punya tanah untuk menanam langkahku. Kita bertemu di tepi yang adil; saling menyeberang, saling kembali, saling bercerita tanpa takut kehilangan diri. Kita bukan dua separuh yang menuntut lengkap; kita dua utuh yang memilih berdampingan.

Aku tak berjanji akan selalu benar, tetapi aku berjanji akan selalu jujur. Ketika takut, aku akan bilang takut. Ketika salah, aku akan bilang maaf. Ketika lelah, aku akan duduk di sampingmu bukan karena ingin diselamatkan, melainkan karena ingin belajar kuat bersamamu. Dan ketika senang, aku akan membagi tawa sampai sisa-sisa bahagia jatuh ke lantai, lalu kita punguti bersama untuk hari esok.

Jika suatu saat jarak menjelma angka-angka di peta, aku akan mengubahnya jadi hitungan doa. Jika sunyi lebih banyak daripada kabar, aku akan menulis lagi bukan untuk mengikatmu, melainkan untuk mengingat bahwa kita pernah sepakat; cinta tidak selalu dramatis, kadang ia hanya mengetuk jam tujuh pagi, mengingatkanmu sarapan, dan menanyakan apakah payungmu sudah kau bawa. Cinta tidak selalu berdebar, kadang ia tenang seperti sungai yang tahu jalan pulang.

Malam makin dalam. Hujan reda, namun harum tanah basahnya masih tinggal di udara seperti sisa-sisa rindu yang tidak mengganggu, hanya mengingatkan. Terima kasih, Dania, telah mengajari hatiku ejaan paling penting: bahwa “kita” ditulis dengan dua tangan yang saling menolong, dua bahu yang saling merendah, dua mata yang saling belajar jujur. Semoga Tuhan menjaga segala yang belum mampu kita jaga, menutup yang tak perlu dibuka, membuka yang tak perlu ditutup. Semoga hari-hari depan meluas seperti halaman buku baru, dan kita menuliskannya tanpa terburu-buru.

Dari aku yang masih rindu. 

Puisi

Puisi adalah bentuk paling padat dari emosi. Ia bekerja dengan diksi yang presisi, citraan yang tajam, dan musik yang tidak selalu bersuara, tetapi terasa di napas pembaca. Puisi yang kuat tidak menyebut “sedih,” melainkan menampilkan kesedihan lewat benda, gerak, dan suasana cangkir teh yang mendingin, baju yang tak jadi dilipat, lampu koridor yang kedip-kedip. Rima dan ritme boleh hadir, tetapi tak wajib yang utama adalah konsistensi bunyi dan jeda. Perhatikan baris dan larik di mana kau memutus kalimat akan menentukan cara pembaca bernapas. Metafora perlu segar dan fungsional jangan memilih kiasan hanya karena indah, tetapi karena ia mengantar makna ke tempat yang lebih dalam. Untuk menulis, mulailah dari satu gambar yang mengganggu pikiranmu, lalu biarkan kata-kata mengitari gambar itu seperti orbit. Draf pertama biarkan liar; draf kedua adalah saat memangkas, mengganti kata umum dengan kata yang bertekstur, menghapus baris yang hanya mengulang. Sebait contoh pendek:
“pukul tujuh, halaman menampung hujan/namamu jatuh pelan di bibir gelas/tak ada yang pecah/kecuali rencana pulang.”

Berikut contoh punya saya : 
(hasil puisi yang saya buat)

Langit yang Kita Bagi

rindu menetes di ujung malam, pelan seperti hujan yang lupa berhenti
Chat darimu terakhir berbunyi “jaga ya” huruf kecilnya menjahit sobek-sobek di dadaku.
Aku mengetik balasan jam 07.03, kubiarkan menggantung: pesan yang memilih menjadi doa.
Di layar, notifikasi senyap; di dalam, hatiku seperti stasiun: berisik, tapi menunggu.

Kau subuh yang mengajari mulai lagi; aku senja yang belajar melepaskan cahaya dengan ikhlas.
Kita tak selalu berdekatan, namun jalan pulang dibangun dari kata-kata yang tak jadi kukirim.
Kuseru nama Ibu dalam sujud, kusebut namamu di sela napas dua alamat, satu pelabuhan.
Bapak menua seperti kalender yang kehabisan tanggal; kau mengajari caraku merawat hari.

Kasih sayang, katamu, adalah menghangatkan air sebelum haus memanggil.
Maka kusiapkan segelas tenang di meja; tak terlihat, tapi ada seperti peluk yang tak pamer.
Kita bertengkar soal waktu, berdamai di jeda; dua kepala menunduk, satu hati menumbuhkan sabar.
Aku menaruh takutku di saku kiri; kau menaruh keberanian kecil di saku kanan.

Foto-foto patah di video call tetap kusimpan; pecah-pecahnya mengingatkan: kita pernah utuh.
Di luar, kota sibuk mengeja ambisi; di dalam, kita belajar mengeja sederhana: pulih, pulang, pelan.
Cintaku padamu bukan pagar, melainkan lampu: menerangimu pergi, menyambutmu kembali
Dan bila jarak seperti laut, biarkan doaku menjadi mercusuar: tegak, tak gaduh, setia.

Kepada diri sendiri, kubisikkan: jangan keras pada luka yang sedang belajar bahasa.
Kepada sahabat, kutulis: “Sini duduk; tak ada lomba sembuh di rumah ini.”
Kepada semesta, kusematkan namamu seperti peniti yang tak pernah lepas dari kain.

“Karena cinta, pada akhirnya, bukan siapa yang bersama melainkan siapa yang tetap mendoakan.”

Cerpen

Cerpen adalah perjalanan singkat yang tetap utuh. Dalam ruang yang terbatas, cerpen menghadirkan tokoh yang punya keinginan, rintangan yang menghalangi, dan pilihan yang memaksa ia berubah meski setipis goresan. Pembuka yang efektif tidak berlama-lama berkenalan ia menaruh pembaca langsung di situasi yang memantik rasa ingin tahu sebuah telepon yang tak diangkat, koper yang sudah setengah terisi, kursi kosong di warung langganan. Alur bisa maju, mundur, atau berkelok, tetapi tiap adegan harus melayani tujuan memperdalam konflik atau mengungkap sisi tokoh. Dialog perlu terasa hidup, tidak hanya bertukar informasi, melainkan memperlihatkan watak dan ketegangan. “Show, don’t tell” bukan larangan mutlak cerpen yang baik tahu kapan menampilkan adegan, kapan merangkum agar cerita tetap bergerak. Latar memberi atmosfer, bukan sekadar dekorasi bau tanah setelah hujan bisa menenangkan tokoh, atau justru menyalakan memori yang ia hindari. Sudut pandang menentukan kedekatan emosi orang pertama memberi keintiman, orang ketiga yang terbatas memberi ruang observasi, orang ketiga mahatahu menawarkan keluasan, tapi menuntut kendali ketat. Akhir cerita tak selalu harus mengejutkan; yang penting terasa tak terhindarkan begitu selesai, pembaca merasa, “memang seharusnya begini,” walau tak menebaknya sejak awal. Bila ingin mencoba, mulailah dari satu momen terpilih misalnya, detik ketika lampu kereta padam di terowongan lalu tanyakan siapa yang paling terusik oleh kejadian sesederhana ini, apa yang ia inginkan, dan apa yang berubah saat lampu menyala lagi.

Berikut contoh punya saya :
(hasil cerpen yang saya buat)

Payung yang Tak Dibuka, Langit Tetap Luas

Pagi menjelang seperti pintu yang dibuka perlahan deritnya kecil, tapi cukup untuk membangunkan kenangan. Hujan semalam masih menempel di kaca jendela, menulis garis-garis tipis seperti kaligrafi yang lupa diterjemahkan. Di meja, ponselku menyala: obrolan WA kita tergeletak seperti buku yang tak selesai kubaca. Ada balon-balon abu-abu, ada stiker tawa, ada nada suaramu dalam voice note 0:12 detik; desis napasmu terdengar di antara kata “jaga ya” ringan, namun mengikat. Aku buka lagi, bukan untuk membaca, melainkan untuk merasa.

“Diana, kamu sudah sarapan?”
Pesan itu kubuat jam 07.03. Tidak terkirim. Disimpan di draf seperti payung yang tak jadi dibuka karena langit keburu cerah. Aneh ya, betapa sering kita menulis untuk menunda; menunda rindu, menunda luka, menunda pertemuan yang kita tahu mustahil hari ini.

Kita bertemu di stasiun, kau ingat? Bangku besi dingin, kereta melintas, dan pengumuman yang tak pernah terdengar jelas. Kau datang dengan totebag bergambar bulan sabit. Aku bawa buku puisi kusam yang kupamerkan seperti medali. “Aku senja,” katamu sambil menunjuk langit yang memerah. “Aku subuh,” kataku, “karena aku percaya pada mulai lagi.” Kita tertawa. Di sela riuh roda besi, aku sadar: ada orang yang mengajari dunia pelan tanpa memerintah dan hari itu orang itu kamu.

Saat itu, aku belum paham bahwa cinta punya banyak wujud. Kukira cinta selalu berdebar, berlari, mengajak tangan berpelukan di bawah lampu kota. Padahal kadang cinta itu adalah pesan yang menanyakan kabar ayahku ketika aku lupa menanyakannya sendiri. Kadang ia secangkir air putih di meja kerja yang tak pernah kosong. Kadang ia adalah caramu mengingatkanku tidur anpa nada marah, hanya emoji ☁️ dan satu kalimat yang selalu gagal kubantah: “Besok mulai lagi.”

Kau bilang, “Kasih sayang itu menata hari, bukan menata orang.” Maka kau membiarkanku menjadi aku, penuh ragu, gampang bising, sering ingin hilang dari internet. Kau tak mengubahku; kau mengajakku duduk, dan kita belajar melipat kusut pelan-pelan. Aku bercerita tentang Bapak yang makin pelupa, tentang masakan yang tak pernah asin pas, tentang pagi yang kadang terasa seperti koridor rumah sakit. Kau, dengan sederhana, memesan bubur untuk kami lewat aplikasi. “Biar hangat dulu perutnya,” katamu. Aku tertawa, lalu diam. Tertawa karena gesture-nya manis, diam karena ada haru menetes tanpa aba-aba.

Malam-malam setelah itu menjadi ruang belajar kita. Aku mengetik cepat seperti anak sekolah yang takut jam pelajaran berakhir. Kau membaca lambat seperti penyair yang tahu tiap koma punya sebab. Kita berdebat tentang puisi dan lagu. Kau suka lirik yang berputar-putar seperti angin; aku memilih baris yang menabrak kepala seperti gelombang. Tapi ketika ada teman Raka datang dengan hati koyak, kita berhenti menjadi siapa yang paling benar; kita berdua menjadi tempat ia menumpahkan air mata. Aku menyeduhkan teh. Kau mengirim pesan panjang:

“Rak, sakitmu sah. Tarik napas. Enggak ada yang lomba sembuh di sini.”

Aku menyalin kalimatmu diam-diam, kusimpan seperti doa di halaman buku catatan. Di situ aku melihat bentuk lain dari cintamu: ia bukan hanya milikku, tetapi milik siapa pun yang memerlukannya.

Lalu datang hari yang sulit. Ada tawaran beasiswa yang lama kau kejar, seperti layang-layang yang tak pernah bisa kau tarik karena selalu kehabisan angin. Tiba-tiba angin datang, dan layang-layang itu menari di atas kepala kita. Kota asing menunggu, musim yang berbeda, kalender baru. Sementara aku aku punya Bapak yang menua lebih cepat dari kabar baik. Kita duduk di bangku taman universitas, sore berkabut tipis. Kau menggenggam ku, lalu melepaskannya, lalu menggenggam lagi seolah tak ingin lagi-lagi. “Aku pergi, ya?” suaramu serupa bisik ombak yang takut pecah.

Aku ingin menjadi egois. Ingin bilang, “Tunggu.” Tapi di dadaku ada kalimat yang lebih besar dari rinduku sendiri: Kalimat yang menyuruhku tak memetik bunga yang baru mekar hanya karena takut ia jatuh pada jendela orang lain. “Pergilah,” kataku akhirnya. “Pergi, dan biar aku menjaga yang bisa kujaga di sini.” Kau menatapku, matamu bening seperti hujan di wadah kaca. Kita tertawa seperti orang yang sudah lama berlatih menerima. Lalu kita diam, membiarkan dedaun jatuh menyusun kalimat yang tak butuh penjelasan.

Malam sebelum keberangkatan, aku menulis caption untuk foto kita, tapi tidak pernah kupublikasikan:

“Kadang cinta adalah memberi sayap: bukan agar ia jauh, melainkan agar ia tidak kehabisan langit.”

Kau mengirim voice note:
“Besok aku berangkat subuh. Jangan ikut ya. Aku tak sanggup melihat wajahmu jadi stasiun.”
Aku tertawa pendek, mengirim stiker mata berkaca-kaca. Lalu kubalas singkat, “Oke.”

Pagi itu, aku tidak datang ke bandara. Aku berdiri di balkon, melihat burung-burung merundingkan arah. Ponselku bergetar pelan: fotomu dengan ransel baru, bayangan pesawat di lantai bandara seperti panah yang menunjuk jauh. Aku mengetik doa—lalu menyimpannya. Tak perlu dikirim; Tuhan sudah membaca.

Hari-hari setelahmu berangkat adalah latihan panjang menata rindu. Ada jam-jam ketika notifikasi sepi seperti jalan raya pukul tiga, ada menit-menit ketika sinyal seperti benang yang gampang putus. Kau di musim gugur; aku di kemarau yang melambatkan jarum jam. Kita menambal jarak dengan video call yang sering membeku di momen-momen lucu. “Jangan screenshot aku kalau lagi beku!” katamu. Tentu saja aku tetap screenshot, sekadar untuk menyimpan wajahmu yang patah-patah namun tetap utuh di kepalaku.

Kita bertengkar juga. Tentang balasan yang terlambat, tentang “kamu online tapi nggak balas”, tentang hal-hal kecil yang diam-diam tumbuh menjadi semak liar jika tak kita pangkas. Pada satu malam, kau mengirim chat panjang:
“Maaf kalau aku terlihat jauh. Aku capek. Aku takut mengecewakanmu.”
Aku berhenti mengetik. Kulepas tanganku dari keyboard; kutarik napas seperti menarik jaring kosong dari laut. Lalu kubalas, sederhana:
“Aku masih di sini. Kalau kamu perlu diam, diamlah. Kalau kamu mau bicara, aku dengar.”
Kau membalas dengan tiba-tiba: panggilan video. Matamu bengkak, suaramu kecil. Kau menangis tanpa kata. Tak apa. Ada air yang tak perlu dijelaskan, ada hujan yang tak perlu alasan. Kita diam, menonton jam berdetak. Kadang cinta memang bukan mengerti; melainkan menunggu sampai yang tak bisa disebut menemukan bibirnya sendiri.

Di sela-sela itu, kasih sayang juga tumbuh pada arah lain. Aku belajar mencintaiku sendiri, dengan metode yang kau ajarkan: mematikan ponsel jam sebelas malam, mengganti kopi kedua dengan air putih, memaafkan diri karena tak semua bisa selesai hari ini. “Self-love bukan tema konten,” katamu saat kami tertawa melihat tren video. “Self-love itu gosokan pelan pada punggung sendiri saat kau takut.” Aku mengangguk, menulisnya, dan mengulanginya ketika gagal. Setiap mengulang, kau seperti hadir, menaruh tangan di bahuku dari jarak ribuan kilometer.

Kehilangan datang tidak selalu sebagai kepergian. Ia datang juga sebagai perubahan jam tidur, ritme kalimat, cara kita membaca kabar. Kita tidak kehilangan satu sama lain; kita kehilangan kemudahan untuk menyentuh. Tapi di sisi lain, kita menemukan sesuatu yang lebih luas; sabar yang tidak tergesa, doa yang tidak ragu. Aku mendoakanmu di sela subuh yang sunyi, menyebut namamu seperti alamat yang tak mungkin salah. Kau mendoakanku dalam perjalanan pulang dari perpustakaan, di bawah lampu-lampu jalan yang menggigil. “Semoga Bapak tenang malam ini,” katamu. Dan benar, malam itu Bapak tidur lebih panjang dari biasanya.

Bulan berganti, kalender ditarik-tarik oleh ujung jariku yang resah. Kita merayakan ulang tahun lewat video call: kuletakkan kue kecil di depan kamera; kau meniupnya dari seberang laut, lilinnya padam seperti patuh pada jarak. Kita tertawa. Aku menyanyikan lagu; suaraku fals seperti biasa. Kau menepuk tangan, lalu menulis: “Terima kasih sudah hidup sejauh ini.”

Suatu sore, kabar buruk datang bersama suara ambulan di televisi apartemenmu. Seorang temanmu, yang sering bercerita tentang rencana pulang, mendadak tidak sempat. Kau menulis panjang di DM:
“Aku takut kehilanganmu.”
Aku dengar kau mengucapkannya sambil mengeja udara. Aku tak tahu harus menjadi apa, selain menjadi telinga yang bersih. Maka kubalas:
“Kita akan kehilangan banyak hal di dunia ini waktu, alamat, bahkan keberanian. Tapi selama ada doa, aku percaya kehilangan adalah pergi yang tetap mencari. Dan doa selalu menemukan.”

Kau tidak membalas. Hanya tanda “typing...” yang menggantung kemudian hilang. Lima belas menit kemudian, satu foto masuk: langit biru pucat di atas taman universitasmu, selembar daun menempel pada bangku. Caption-mu pendek: “Aku masih di sini.” Aku melihatnya lama, menyentuh layar seperti menyentuh dahimu: dingin tapi menenangkan.

Jika cinta adalah rumah, barangkali kita adalah dua kamar yang saling meminjam cahaya. Kadang pintu ditutup, kadang jendela lebar. Ada malam ketika aku ingin mengetuk, namun memilih mengirim stiker kucing tidur. Ada pagi ketika kau ingin datang, namun mengirim foto roti panggang sebagai gantinya. Tak apa. Rumah tidak hancur karena pintunya sesekali terkunci; ia tetap berdiri selama fondasinya doa dan gentengnya sabar.

Malam ini, aku menulis lagi di antara bunyi kipas angin yang seperti nyanyian jangkrik modern. Kutuliskan hal-hal yang jarang kubilang: bahwa aku bangga padamu; bahwa di balik fotomu di aula beasiswa, ada banyak air mata yang tak berpose; bahwa saat kau memilih pergi, kau juga memilihku untuk percaya. Terima kasih, karena memilihku bukan sebagai penjara, melainkan sebagai halaman yang bisa kau tinggalkan dan kau pulangi tanpa rasa bersalah.

Aku menutup ponsel, namun rindu tetap menyala kecil-kecil seperti lampu kamar mandi yang tak pernah benar-benar padam. Di luar, hujan menyisakan bau tanah aroma yang selalu mengingatkanku pada wajahmu: bersih, jujur, tak pura-pura kuat. Aku mengucap pelan kalimat yang selalu kubawa: semoga langkahmu ringan; semoga bahumu kuat; semoga hatimu aman dari yang berpura-pura.

Dan jika pada suatu hari dunia mengatur ulang rute kita membuat kita melambung lebih jauh atau mendadak berpapasan di meja kafe kecil aku berharap kita tetap mengenal satu sama lain, bukan dari wujud, melainkan dari cara kita menaruh kata. Kau tetap akan menulis “jaga ya,” dengan huruf kecil yang ragu; aku tetap akan membalas “iya,” dengan titik yang sengaja kutaruh satu saja. Jika tak bertemu pun, tak apa. Ada cinta yang tak perlu temu untuk setia; ia tinggal di halaman doa, jam-jam sunyi yang merahasiakan yang paling penting.

Besok, jam 07.03, mungkin aku akan menulis pesan lagi mungkin tetap tak kukirim. Bukan karena ragu, melainkan karena aku tahu: ada perasaan yang tempat terbaiknya bukan di layar, melainkan di langit yang kita bagi. Dan langit, Diana, selalu cukup luas untuk menampung yang belum selesai.

Akhirnya, doaku: semoga kau selalu tiba, di mana pun kau pulang; semoga aku tak letih menjaga yang mesti kujaga; semoga kita berdua tidak putus dari kebaikan yang kita semai. Jika cinta adalah bahasa, izinkan kalimatku menjadi rumah bagi hatimu meski jarak, meski waktu, meski tak selalu bertemu.

Baik, segitu saja materi saya untuk hari ini. Terimakasih kepada para pembaca yang telah menyempatkan waktunya membaca blog saya. Mohon maaf apabila ada salah kata dan kurangnya penjelasan. saya pamit undur diri sampai bertemu di blog saya yang lainnya.




Posting Komentar

0 Komentar